Senin, 14 September 2015

Kerajaan Medang Kamulan

Kerajaan Medang Kamulan

A. Letak dan Sumber Sejarah

Kerajaan Medang Kamulan berdiri saat Mpu Sindok menantu Wawa memindahkan Kerajaan Mataram ke Jawa Timur dikarenakan letusan Gunung Merapi, gempa vulkanik, dan hujan material vulkanik yang membuat kacau banyak daerah di Jawa Tengah.

Kerajaan Mataram di Jawa Timur ini kemudian sering disebut kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok merupakan penguasa baru di Jawa Timur mendirikan wangsa Isyana. Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan ini adalah

a. Prasasti Anjuk Ladang

Prasasti Anjuk Ladang adalah Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Isyana (Mpu Sindok) dari Kerajaan Medang Kamulan setelah Kerajaan Mataram Kuno pindah ke bagian Jawa Timur. Prasasti ini juga disebut Prasasti Candi Lor karena ditemukan pada reruntuhan Candi Lor, di Desa Candirejo, Loceret, Nganjuk, beberapa kilometer di tenggara kota Nganjuk.  

b. Prasasti Paradah
Prasasti Paradah berlokasi di di Kecamatan Kepung, Kediri, Jatim. Prasasti ini juga dibuat oleh Mpu Sindok, raja pertama Mataram Kuno di Jawa Timur

Menurut Psasasti Paradah (943) dan Prasasti Anjukladang (973) Ibukota Kerajaan Medang Kamulan ini beribukota di Watugaluh, sekarang menjadi sebuah desa di dekat Jombang, tepi aliran Sungai Brantas.


c. Prasasti Calcuta

Keturunan Mpu Sindok sampai Airlangga tertulis di Prasasti Calcuta (1042 M) yang dikeluarkan oleh Airlangga.  Adapun Isinya secara keseluruhan antara lain :
a. Menguraikan silsilah Airlangga.
b. Peristiwa penyerangan raja Wora-Wari.
c. Pelarian Airlangga ke hutan Wonogiri.
d. Pendirian pertapaan di Pucangan.
e. Airlangga berperang melawan raja Wengker.


B. Kondisi Kerajaan

a. Segi Pemerintahan

Mpu Sindok memerintah dari tahun 928 – 949 M. Setelah itu raja yang memerintah secara berturut-turut adalah Sri Isyanatunggawijaya, Sri Makutawangsawardhana lalu selang kemudian, muncul Raja Dharmawangsa yang memerintah tahun 991 – 1016 M. Raja Dharmawangsa bermaksud menyerang Sriwijaya, tapi belum berhasil. Pemerintahannya diakhiri dengan peristiwa Pralaya yaitu penyerangan raja Wora-Wari (sekutu Kerajaan Sriwijaya) pada saat pesta pernikahan Airlangga dan Putri Dharmawangsa di mana istana Raja Dharmawangsa hancur.

Pengganti Dharmawangsa adalah Airlangga yang berhasil membangun kembali kerajaan Medang di Jawa Timur Airlangga terkenal sebagai raja yang bijaksana, digambarkan sebagai dewa Wisnu. Airlangga sendiri berhasil melarikan diri saat peristiwa Pralaya ke hutan wonogiri (Prasasti Calcuta) ditemani oleh Mpu Narotama.

Airlangga memulai membangun Kerajaan Medang Kamulan dari awal. Terjadi beberapa kesulitan karena beberapa daerah tidak mau tunduk lagi. Namun seiring melemahnya Kerajaan Sriwijaya, sejak taun 1025 Airlangga mulai memperluas kekuasannya. Setelah semua wilayah Kerajaan Medang Kamulan utuh kembali ada beberapa usaha yang dilakukan Airlangga, Antara lain:

1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh di muara Kali Brantas. Pelabuhan ini akhirnya menjadi sentra dagang yang termahsyur yang didatangi kapal-kapal pedagang dari China, India dan lain-lain.

2. Membangun Waduk Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman

3. Membangun jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.


b. Segi Sosial Budaya

Hasil sastra yang terkenal adalah Buku Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Ada juga Kitab Budha berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang beraliran Tantrayana.  Kitab ini ditulis oleh pujangga bernama Sri Sambhara Suryawarana.
 

c. Segi Ekonomi

Dengan pelabuhannya yang ramai, yaitu Hujung Galuh dan Tuban kegiatan perdagangan di Kerajaan Medang Kamulan menjadi faktor utama yang menopang Laju perekonomian. Banyak pedagang dari luar negeri yang datang untuk berdagang di sana.

d. Segi Agama

Mpu Sindok sangat menghargai Toleransi agama, terbukti dengan pemberian hadiah berupa desa Sri Sambhara Suryawarana karena menulis kitab Sri Sambhara Suryawarana, yang notabene adalah Kitab Budha aliran Tantrayana (percampuran antara ajaran Budha dan Hindu aliran Siwa). Mpu sindok sendiri menganut agama Hindu aliran Siwa. Pada masa pemerintahan Airlangga juga berkembang agama Hindu aliran Siwa dan Budha. Namun Airlangga yang beragama Hindu aliran Wisnu tetap menghargai toleransi
 
C. Keruntuhan
                                                               
Pada akhir pemerintahannya Airlangga membagi dua kerajaannya yaitu menjadi Jenggala dan Kediri. Pembagian dilakukan oleh Empu BharadaJenggala diberikan kepada Samarawijaya dengan ibukotanya adalah Daha. Adapun Kediri diberikan kepada Mapanji Garasakan dengan ibukotanya adalah Kahuripan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan untuk mementukan siapa yang berkuasa antara dua pangeran tersebut.  Dua kerajaan ini yang bertahan untuk tetap hidup adalah kerajaan Kediri. Airlangga akhirnya wafat pada tahun 1049 M.


Read More

Senin, 31 Agustus 2015

Kesultanan Ternate dan Tidore

kesultanan ternate dan tidore
Dalam sejarah Ternate disebutkan bahwa Sultan Ternate yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Zainal Abidin (1465-1486). Sebelum memeluk Islam, ia bernama Gapi Buta dan setelah meninggal dunia ia dikenal dengan sebutan Sultan Marhum. Sedangkan Sultan Tidore yang pertama kali memeluk Islam adalah Cirililiyah yang kemudian berganti nama menjadi

Sultan Jamaludin. Ketika Ternate di bawah pemerintahan Sultan Ben Acorala dan Tidore di bawah pemerintahan Sultan Almancor, keduanya berhasil mengangkat kerajaan menjadi negeri yang kuat dan makmur. Kedua kerajaan itu memiliki puluhan perahu korakora yang dipergunakan untuk berperang dan mengawai lautan yang menjadi wilayah perdagangannya. Di ibukota Ternater, yaitu Sampalu banyak didirikan rumah di atas tiang-tiang yang tinggi dan istana kerajaan dikelilingi dengan pagar. Kota Tidore dikelilingi dengan pagar tembok, parit, benteng, dan lubang perangkap sehingga sangat sulit ditembus oleh musuh. Ternyata, kemajuan kedua kerajaan itu menyebabkan timbulnya persaingan untuk menanamkan pengaruh atas wilayah sekitarnya. Oleh karena itu, pada abad XVII muncul dua persekutuan, yaitu Uli Lima dan Uli Siwa. Uli Lima dipimpin oleh Ternate dengan anggota Ambon, Obi, Bacan, dan Seram. Sedangkan Uli Siwa dipimpin oleh Tidore dengan anggota Makean, Halmahera, Kai, dan pulau-pulau lain hingga ke Papua bagian Barat. Kesultanan Ternate mencapai puncak kejayaan pada masa peme-rintahan Sultan Baabullah. Sedangkan kesultanan Tidore mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku. Persaingan di antara kedua kesultanan itu dimanfaatkan oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang berambisi untuk menancapkan kekuasaannya di Kepulauan Maluku. Kedua bangsa asing itu berusaha mengadudomba antara Ternate dan Tidore. Ternate dibantu Spanyol dan Tidore dibantu Portugis.
Read More

Kesultanan gowa-tallo

Kesultanan gowa-tallo
Semula Kesultanan Gowa terdiri dari 9 kerajaan kecil, yeitu Tombolo, Lakiung, Parang-parang, Data, Agangjene, Saumats, Bissei, Sero, dan Kalli. Pada masa pemerintahan Tumaparisi- Kallonna, Gowa disatukan dengan Tallo yang diperintah oleh Tunipasuruk pada pertengahan abad XV. Kelebihan masingmasing kerajaan menjadi modal utama dalam membesarkan Gowa-Tallo. Gowa memberikan sumbangan dengan kehebatan militernya, sedangkan Tallo memberikan sumbangan dalam bidang administrasi pemerintahan dan kemampuan dalam

menjalin hubungan dagang dengan para pedagang asing. Kerajaan Gowa-Tallo disebut juga Kerajaan Makasar (nama suku bangsa yang memerintah kedua kerajaan itu). Sedangkan ibukota kerajaan terletak di Sombaopu. Kesultanan Makasar melancarkan ekspansi ke wilayah sekitarnya. Beberapa kerajaan kecil seperti Siang, Bone, Suppa, Sawitto dapat ditundukan. Namun, Kerajaan Bone bangkit kembali untuk menentang Kerajaan Makasar. Pada tahun 1528, Bone membentuk persekutuan dengan Kerajaan Wajo dan Kerajaan Soppeng. Persekutuan yang diikrarkan di Desa Bunne diberi nama Tellumpocco. Bone diakui sebagai saudara tua, Wajo sebagai saudar tengah, dan Soppeng sebagai saudara bungsu. Sejak abad XVI, pada pedagang muslim telah menjalin hubungan dagang dengan pada pedagang dari Sulawesi Selatan. Di samping itu, beberapa ulama dari Sumatera Barat seperti Datok ri Bandang, Datok Sulaeman, dan Datok ri Tiro datang di Sulawesi Selatan untuk menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1605, Raja Daeng Manrabbia (Gowa) telah memeluk agama Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Sedangkan Karaeng Matoaya (Raja Tallo merangkap mangkubumi Gowa) mendapat gelar Sultan Abdullah Awalul Islam
Read More

Kesultanan Banten

Kesultanan banten
Pendiri:
Nurullah/ Fatahillah
Berdiri pada tahun:
1552
Siapakah Fatahillah sebenarnya?
Sebelumnya ia bernama Nurullah, Ia berasal dari Pasai dan pergi ke Demak karena Pasai dikuasai Portugis. Ia sangat berjasa kepada Sultan Trenggono dalam mengusir Portugis dari pulau Jawa. Ia diizinkan untuk menyebarkan agama Islam di Banten dan sekitarnya. Ia berhasil mendirikan Kesultan Cirebon pada tahun 1552. Ia meninggal pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung. Dalam Babad Cirebon, ia dikenal sebagai Wong Agung Sabrang (pembesar yang berasal dari luar Jawa) dan Ratu Bagus Pase (orang terhormat dari Pasai)
Siapakah Sunan Gunung Jati sebenarnya?
Sampai saat ini ada dua pendapat yang berbeda mengenai Sunan Gunung Jati:
Pertama, mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Fatahillah. Artinya, dua nama yang digunakan oleh orang yang sama.
Kedua, mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah dua nama yang dipergunakan oleh dua orang yang berbeda. Jika pendapat ini benar, maka Sunan Gunung Jati adalah nama lain dari Syarif Hidayatullah sebagaimana diceriterakan dalam Babad Caruban maupun sumber-sumber Portugis yang mengatakan bahwa Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Jati.
Sejarah:
Dasar-dasar pembentukkan Kesultanan Banten telah dirintis oleh Nurullah pada tahun 1525 atas persetujuan Sultan Demak. Nurullah adalah seorang muslim yang saleh dan cakap dalam bidang politik sehingga diharpkan dapat membendung pengaruh Portugis. Pada tahun 1522, Portugis
telah menandatangi persetujuan dengan Pakuan Pajajaran untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Namun sebelum maksud Portugis dilaksanakan, Nurullah telah merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran pada tahun 1527. Atas kemenangannya itu, Nurullah diberi gelar Fatahillah (Kemenangan Allah) oleh Sultan Trenggono. Di samping itu, nama Sunda Kelapa diganti
dengan Jayakarta. Ketika Portugis bermaksud mendirikan benteng di Sunda Kelapa, maka kedatangan mereka disambut gempuran oleh laskar Banten. Portugis terdesak dan akhirnya menyingkir dari Sunda Kelapa. Akhirnya, Banten diserahkan kepada puteranya yang kedua, yaitu Hasanuddin pada tahun 1552. Sejak saat itu, Banten melepaskan diri dari Demak dan berdiri sebagai kerajaan yang merdeka. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin (1552-1570) dianggap sebagai sultan Banten yang pertama. Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin wafat dan digantikan puteranya yang bernama Pangeran Yusuf (1570-1580). Pada tahun 1579, Pangeran Yusuf menyerang Pajajaran dan sejak itu berakhirlah riwayat kerajaan Hindu di Jawa Barat. Sedangkan Pangeran Yusuf digantikan oleh Maulana Yusuf. Maulana Yusuf meninggal pada
tahun 1595, ketika memimpin ekspedisi ke Palembang. Banten pun mulai surut karena kalah
bersaing dengan VOC yang berkuasa di Batavia (dulu Sunda Kelapa atau Jayakarta).


Read More

Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon
Pendiri:
Syarif Hidayatullah
Berdiri pada tahun:
1482
Sumber sejarah:
Berdasarkan Ceritera
Caruban (Tjarita Tjaruban), Kesultanan Cirebon didirikan oleh Syarif Hidayatullah, salah seorang cucu Raja Pakuan Pajajaran. Ia naik tahta pada tahun 1482, sekembalinya dari Mekkah. Sebagai seorang cucu raja, ia diberi hak untuk mengembangkan kekuasaan di Cirebon. Selain sebagai Sultan Cirebon, Syarif Hidayatullah juga dikenal sebagai seorang wali. Ia mendapat persetujuan dari para, terutama Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat. Oleh karena itu, Syarif Hidayatullah kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Sejarah:
Cirebon bersal dari kata caruban yang berarti campuran. Masyarakat Cirebon diperkirakan merupakan campuran dari para pedagang setempat dengan para pedagang Cina yang telah memeluk Islam. Menurut buku Sejarah Banten, satu rombongan keluarga Cina telah mendarat dan menetap di Gresik. Kemudian mereka memeluk agama Islam. Satu di antara mereka bernama Cu-cu dan lebih dikenal dengan sebutan Arya Sumangsang atau Prabu Anom. Keluarga Cucu dapat mencapai kedudukan dan kehormatan tinggal di Kesultanan Demak dan
mendapat kepercayaan untuk mendirikan perkampungan di daerah Barat. Atas ketekunannya, mereka berhasil membangun perkampungan yang disebut Cirebon. Cirebon pun berkembang dengan pesat sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam. Akibatnya, Pakuan Pajajaran mulai surut. Namun, di antara dua kerajaan itu tidak pernah terjadi peperangan karena masih ada hubungan kekerabatan. Syarif Hidayatullah wafat di Cirebon dan dimakamkan di bukit Gunung Sembung, tidak jauh dari bukit Gunung Jati. Untuk meneruskan pemerintahannya

di Cirebon, Syarif Hidayatullah mengangkat putranya yang bernama Pangeran Pasarean. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya. Tahun 1679 Cirebon terpaksa dibagi dua yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Waktu itu VOC sudah bercokol kuat di Batavia. Dengan politik De Vide at Impera, Kesultanan Kanoman di bagi dua, yakni Kasultanan Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3 (tiga), yakni Kasepuan, Kanoman, dan Kacirebonan. Akhir abad ke-17 Cirebon berhasil dikuasai VOC.
Read More

Kesultanan mataram Islam

Kesultanan mataram Islam
Berdiri pada tahun:
1586.
Pendiri:
Sutawijaya
Sejarah:
Sutawijaya telah lama berharap agar pada suatu saat dapat menjadi seorang sultan. Oleh karena itu, ketika diangkat sebagai Adipati Mataram pada tahun 1575, ia mulai memperskuat kedudukannya dengan membangun benteng di sekeliling istananya. Akhirnya, harapan itu datang, ketika Pangeran Benawa menawarkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya, setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri pada tahun 1586. Tentu, Sutawijaya tidak menolaknya. Sejak saat itu, Sutawijaya secara sah menjadi Sultan Pajang. Namun, tidak lama kemudian ia memindahkan ibukota kerajaan ke Kotagede yang terletak di sebelah Tenggara Kota
Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, nama kerajaan pun berubah menjadi Mataram. Sutawijaya menjadi Sultan Mataram (1586- 1601) dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah. Artinya, sultan yang sekaligus sebagai panglima perang dan pemimpin agama. Masa pemerintahan Panembahan Senopati diwarnai dengan berbagai masalah dan peperangan yang terus menerus. Masalah tersebut terjadi antara Sutawijaya dan para adipati yang tidak bersedia mengakui kekuasaan Sutawijaya sebagai sultan. Mengapa sebagian adipati tidak mau mengakui Sutawijaya sebagai sultan? Biasanya pengangkatan dan pengesahan seorang sultan dilakukan olehseorang wali. Sedangkan Sutawijaya tidak diangkat dan disahkan oleh wali
sebagai sultan. Itulah sebabnya, sebagian para adipati enggan mengakui Sutawijaya sebagai sultan. Surabaya, Demak, Ponorogo, Madiun, Kediri, dan Pasuruan tidak mau mengakui kekuasaan Sutawijaya dan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Akibatnya, terjadilah pertempuran antara Mataram dan para adipati di Jawa. Pertempuran paling sengit terjadi antara Mataram dan Surabaya pada tahun 1586. Akhirnya, pertempuran itu dapat dihentikan berkat bantuan Sunan Giri. Mataram gagal menahlukan Surabaya, meskipun Surabaya harus mengakui
kekuasaan Sutawijaya. Sementara, Demak, Ponorogo, Madiun, Kediri, dan Pasuruan berhasil ditakhlukan sehingga wilayah Mataram masih cukup luas. Bahkan, Cirebon dan Galuh berhasil dikuasai pada tahun 1595. Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 dan digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang (1601-1613). Ia bergelar Sultan Anyakrawati. Pada masa pemerintahannya timbul pemberontakan dari Pangeran Puger di Demak pada tahun 1602-1605 dan Pengeran Jayaraga di Pononrogo pada tahun 1608. Kedua pemberontakan itu dapat dipadamkan. Namun, pemberontakan di Surabaya pada tahun 1612 belum dapat dipadamkan sampai ia meninggal pada tahun 1613. Sultan Anyakrawati wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pengganti Mas Jolang adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Ngalaga Ngabdur Rachman (1613–1645). Ia lahir tahun 1591, artinya ia menjadi sultan pada usia 22 tahun. Sultan Agung segera melanjutkan citacita leluhurnya, yaitu mewujudkan kekuasaan Mataram yang meliputi seluruh pulau Jawa. Sejak tahun 1614, Sultan Agung mulai menahlukan daerah-daerah di pesisir Utara Jawa. Bala tentara Mataram berhasil menguasai Lumajang, Pasuruan, Kediri, Tuban, Pajang, Lasem, Surabaya, Madura, dan Sukadana (Kalimantan). Sedangkan Cirebon dan Banten belum dapat dikuasai secara penuh. Namun karena Cirebon dan Banten adalah bekas wilayah Demak, maka Sultan Agung sebagai penerus Kerajaan Demak merasa berhak atas kedua wilayah itu. Dengan demikian, tinggal Batavia (Sunda Kelapa) yang belum ditakhlukan. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung menyerang Batavia. Namun, mengalami kegagalan karena bala tentaranya kekurangan makanan sebagai akibat persediaan makanan yang telah disediakan dibakar oleh orang-orang Belanda. Setelah itu, Sultan Agung mengalihkan perhatiannya untuk memajukan kehidupan rakyatnya. Bidang pertanian mengalami kemajuan. Pada tahun 1633, Sultan Agung menciptakan tarikh Jawa-Islam berdasarkan perhitungan bulan yang dimulai pada 1 Muharam 1043 H. Ia juga berhasil menyusun karya Sastra Gending yang berisi ajaran filsafat mengenai ’kesucian jiwa’. Di samping itu, ia berhasil menyusun buku undang-undang pidana dan perdata yang diberi nama Surya Alam. Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan dikenang sebagai raja yang terbesar karena dapat membawa Mataram mencapai jaman keemasan
Sistem susunan pemerintahan, Mataram di
bagi dalam :
Ø   Kutanegara, yang merupakan daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana dalam).
Ø  Negara Agung, yang merupakan daerah yang ada di sekitar Kutanegara. Dalam pelaksanaan pemerintahan di pegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
Ø  Mancanegara, yaitu daerah di luar negara Agung. Daerah ini dipimpin oleh para Bupati.
Ø  Pesisir, daerah yang dipimpin oleh para Bupati atau Syah Bandar


Read More

Kesultanan pajang

Kesultanan pajang
Pendiri:
Adiwijaya (1568-1582).
Sejarah:
Pendiri Kerajaan Pajang adalah Adiwijaya (1568-1582). Ia menduduki tahta Pajang dengan memindahkan kebesaran kerajaan Demak ke Pajang. Sedangkan, Demak sendiri hanya dijadikan salah satu kadipaten. Ia mengangkat Arya Pangiri (putera Pangeran Prawoto) sebagai Adipati Demak. Sebagai penguasa Pajang, Adiwijaya mendapat pengakuan dari Sunan Giri dan para adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah menjadi sultan, Adiwijaya (Hadiwijaya) tidak pernah lupa terhadap jasa-jasa para sahabatnya yang ikut membantu mengalahkan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan menerima hadiah tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok). Ki Penjawi diberi hadiah di daerah Pati. Keduanya sekaligus diangkat sebagai Bupati di daerah masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa menundukan daerah-daerah Jawa Timur, diangkat sebagai wakil raja dengan daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.
Sedangkan Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan) diangkat sebagai anak angkat Sultan Adiwijaya dan menjadi saudara Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah putera mahkota Kesultanan Pajang. Sutawijaya adalah seorang pemuda yang sangat ahli dan cakap dalam bidang militer dan peperangan. Ketika Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat sebagai Adipati Mataram. Ketika Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582, seharusnya digantikan oleh Pangeran Benawa. Namun, ia berhasil disingkirkan oleh Arya Pangiri. Arya Pangiri pun naik tahta menjadi Sultan Pajang pada 1582-1586. Sedangkan Pangeran Benawa hanya dijadikan adipati di Jipang. Ketika menjadi sultan, tindakan Arya Pangiri sangat meresahkan masyarakat karena menyita sepertiga sawah rakyat untuk diberikan kepada para pengikutnya dari Demak. Tindakan Arya Pangiri tersebut menyebabkan timbulnya
usaha-usaha perlawanan. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Pangeran Benawa untuk menghimpun kekuatan. Ia segera menjalin kerja sama dengan saudara angkatnya, yaitu Sutawiajaya yang telah menjadi Adipati Mataram. Dalam sebuah serangan, Arya Pangiri dengan mudah dapat dikalahkan oleh Pangeran Benawa yang dibantu Sutawijaya pada tahun 1586. Namun, Pangeran Benawa tidak mau membunuh Arya Pangiri dan hanya menyuruh Arya Pangiri untuk kembali ke Demak. Setelah berhasil mengalahkan Arya Pangiri, Pangeran Benawa yang lebih berhak atas tahta Pajang justru menyerahkan kekuasaannya kepada Sutawijaya. Pangeran Benawa menyadari bahwa dirinya tidak cukup cakap untuk mengendalikan pemerintahan, menjamin keamanan, dan memper-tahankan kekuasaan Panjang yang sangat luas. Di samping itu, Pangeran Benawa merasa tidak mampu bersaing dengan saudara angkatnya. Sutawijaya pun menerima tawaran saudara angkatnya dan sejak saat itu segala kebesaran Pajang dipindahkan ke Mataram.






Read More

About Me

Popular Posts

Designed By Seo Blogger Templates