Kerajaan Sriwijaya
A. Letak dan Sumber
Sejarah
Letak kerajaan Sriwijaya adalah di Sumatra Selatan dekat Palembang
sekarang. Kerajaan ini berdiri pada abad VII M. Pusat kerajaan belum dapat dipastikan, tetapi
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya
merupakan pusat agama Budha di Asia Tenggara seperti yang diberitakan
oleh I Tsing seorang musafir Cina yang belajar
paramasastra Sansekerta di Sriwijaya. Beberapa prasasti peninggalan Sriwijaya :
a. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti
kedukan bukit ditemukan di Kampung Kedukan
Bukit, Palembang, Sumatera Selatan, tepatnya di tepi Sungai Tatang yang
hilirnya di Sungai Musi.
Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara
Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini menceritakan perjalanan suci yang dilakukan
oleh Dapunta Hyang dengan perahu. Ia berangkat dari Minangtamwan dengan membawa
20.000 tentara. Ia berhasil menaklukkan beberapa daerah sehingga Sriwijaya
menjadi makmur.
b. Prasasti Talang Tuo.
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di kaki Bukit Seguntang, (dekat Palembang) yang berangka tahun 684 Masehi. Dalam Prasasti ini diseebutkan nama
Dapunta Hyang (yang beristrikan Sobakakencana putri kedua dari raja terakhir
Kerajaan Tarumanegara). Didalamnya juga disebutkan selesainya sebuah taman yang
kemudian diberi nama Srikserta, yang dibangun oleh Dapunta Hyang Jayanasa untuk kemakmuran semua makhluk.
Prasasti ini juga memperkuat bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari cara
pandang Mahayana pada masa tersebut, dengan ditemukannya istilah-istilah bahasa
Sanskerta yang digunakan secara umum dalam ajaran Mahayana.
c. Prasasti Kota Kapur
Prasasti yang
berangka tahun 686 M 8ni ditemukan di Kota Kapur, Pulau Bangka. Tulisan pada prasasti ini
ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta
merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu.
Prasasti ini
menyebutkan adanya ekspedisi Sriwijaya ke daerah seberang lautan (Pulau Jawa)
untuk memperluas kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan
disekitarnya, seperti Melayu, Tulangbawang, dan Tarumanegara. Dalam prasasti
ini pula pertama kali disebutkan nama Sriwijaya yang tercantum dalam kalimat “Bumi
Jawa (tarumanegara) tidak mau tunduk pada Sriwijaya”. Konon prasasti ini adalah
prasasti Kerajaan Sriwijaya yang tertua.
d. Prasasti Telaga Batu.
Prasasti Telaga Batu ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru, Kota
Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya mengenai kutukan-kutukan yang
seram terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada raja.
e. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemukan di tanah genting Kra,
Ligor (sekarang Nakhon Si Thammarat,
selatan Thailand) Berangka tahun 755 M. Prasasti ini merupakan pahatan ditulis pada dua sisi.
Prasasti berisikan berita tentang raja Sriwijaya
(Dharmasetu), yang mendirikan pelabuhan di Semenanjung melayu dekat ligor.
Selai iti juga berisikan berita tentang nama Visnu yang bergelar Sri Maharaja,
dari keluarga Śailendravamś yang dijuluki dengan Śesavvārimadavimathana
(pembunuh musuh-musuh yang sombong tidak bersisa).
f. Prasasti Karang Berahi.
Prasasti Karang Berahi ditemukan pada tahun 1904 di Dusun Batu Bersurat,
Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi hulu. Berangka tahun 686 M dengan isi permintaan kepada Dewa
yang menjaga Sriwijaya dan untuk menghukum setiap orang yang bermaksud jahat
terhadap Sriwijaya. Kutukan pada isi prasasti ini
mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Telaga Batu.
g. Prasasti Bukit Siguntang.
Prasasti Bukit Siguntang ditemukan di Bukit Siguntang
yang berada di Kota Palembang, yang juga
merupakan komplek pemakaman raja-raja Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini ditulis
dalam aksara Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno.
Prasasti yang terdiri dari 21 baris ini menceritakan
tentang hebatnya sebuah peperangan yang mengakibatkan banyaknya darah
tertumpah, disamping itu juga menyebutkan kutukan bagi mereka yang berbuat
salah.
h. Prasasti Palas Pasemah.
Prasasti Palas Pasemah, prasasti pada batu, ditemukan di Palas Pasemah,
di tepi Way (Sungai) Pisang, Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa
Melayu Kuna sebanyak 13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk
aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Isinya
mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Sumber-sumber lain mengenai Sriwijaya ialah berita dari Cina, Arab dan India. I Tsing
bekerjasama dengan Sakyakirti menulis kitab Hastadandasastra yang pada
tahun 711 disalin I Tsing ke dalam bahasa Cina. Sumber
dari tambo dinasti T’ang. Dinasti Sung, dari Chau You Kwa
dalam bukunya Chu Fan Chi, dan lain-lain.
B. Kondisi Kerajaan
a. Faktor-faktor yang menguntungkan Perkembangan Sriwijaya, sehingga menjadi kerajaan Maritim yang besar
Faktor geografis:
letaknya yang strategis dalam
jalur dagang antara India dan Tiongkok,
lebih ramai setelah jalan darat India – Tiongkok
terputus. Selain itu, Muara sungai di Sumatera lebar dan landai mudah dilayari.
Faktor ekonomis:
Di Sumatera banyak hasil untuk diperdagangkan, misalnya penyu,
gading, kapur barus dan lain-lain. Lalu, keruntuhan
kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja, yang dulunya sangat
berperan di Asia tenggara, pada abad VII
runtuh, dan digantikan Sriwijaya, cepat berkembang
sebagai negara maritim.
b. Sistem Pemerintahan dan Perluasan Daerah.
Kerajaan Sriwijaya terus melakukan perluasan wilayah. Raja yang terkenal adalah
Balaputradewa. Pada masa pemerintahannya Sriwijaya mencapai
jaman keemasan. Balaputradewa merupakan keturunan
dari Dinasti Syailendra.
Sriwijaya sudah mengadakan hubungan dengan Cina.
Sriwijaya sudah mempunyai hubungan dengan India, yang tertulis dalam prasasti
Nalanda yang isinya menyebutkan bahwa sebuah biara telah dibangun oleh Raja Dewapaladewa
dari Benggala. Atas perintah Raja Balaputradewa, maharaja di Suwarnadwipa.
c. Agama yang berkembang di
Sriwijaya.
Berita I Tsing mengatakan bahwa Sriwijaya maju dalam agama Budha, di samping itu juga
berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan
agama Budha. I Tsing belajar tata bahasa
Sansekerta selama enam bulan di Sriwijaya. Ilmu keagamaan (teologi) Budha di
pelajari di Sriwijaya.
Pendeta Budha yang terkenal adalah Sakyakirti. Mahasiswa
dari luar negeri datang di Sriwijaya dulu, sebelum belajar lebih lanjut ke India.
Peninggalan candi di Sriwijaya terletak di Muara
Takus dekat sungai Kampar di daerah Riau, juga di Bukit
Siguntang ditemukan ArcaBudha
d. Segi Ekonomis.
Sriwijaya sebagai pusat perdagangan, menjadikan Sriwijaya
sebagai negara yang makmur bagi rakyatnya, sebagai pelabuhan yang dilewati
kapal-kapal dagang, mendapat pemasukan dari pajak. Hasil dari Sriwijaya yang banyak diperdagangkan adalah
: gading, beras, rempah-rempah, kayu manis,
kemenyan, emas dan sebagainya.
Sriwijaya sebagai negara maritim merupakan negara yang mengandalkan
perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil
laut. Untuk stabilitas kerajaan Sriwijaya juga membentuk
armada laut yang kuat, supaya dapat mengatasi
gangguan di jalur pelayaran perdagangan.
C. Keruntuhan
Faktor Ekonomi: Sriwijaya
mengalami kemunduran pada abad X M, setelah terjadi persaingan ekonomi antara Kerajaan
Sriwijaya dengan Kerajaan Medang di Jawa Timur.
Faktor Politik: Sriwijaya yang
semula menjalin hubungan baik dengan Colamandala, akhirnya terjadi permusuhan, Colamandala
menyerang dua kali (tahun 1023 dan 1068 M) ke Sriwijaya. Walaupun tidak
mengakibatkan hancurnya Sriwijaya, namun serangan ini
memperlemah keadaan pemerintahan di Sriwijaya.
Faktor wilayah: yang makin
memperlemah posisi Sriwijaya. Misalnya: banyak daerah
kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Kerajaan
Singasari di Jawa Timur juga menyerang ke Sriwijaya lewat
ekspedisi Pamalayu (1275). Serangan yang hebat dari
kerajaan Majapahit pada tahun 1377, kemungkinan besar menjadi penentu untuk mengakhiri
riwayat Sriwijaya
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus